Sabtu, 18 Mei 2013


Banting Tulang Seorang  Ayah Tiri

Ayah kandungku meninggal karena paru-paru stadium akhir saat aku berusia 6 tahun.

Beliau juga meninggalkan ibu serta adik kecilku, sejak saat itu kehidupan keluargaku sangat sulit. Setiap hari ibuku bekerja membanting tulang bekerja menjual makanan-makanan kecil keliling sekitar kampungku.

Saat aku berusia 7 tahun, ibu menikah dengan seorang lelaki dan ibu menyuruh kami memanggilnya dengan sebutan ayah. Lelaki itu ayah tiriku. Ayah tiriku adalah seorang yang pendiam dia sangat rajin membantu ibuku bekerja menjual makanan-makanan kecil. Ia juga perhatian dengan aku serta adikku.

Suatu hari ayah mendapat tawaran kerja dipekantoran menjadi manager, aku tidak menyangka ayah tiriku bisa kerja dipekantoran. Saat itulah ayah tiriku mulai membeli rumah mewah untuk tempat tinggal keluargaku. Aku sangat senang sekali karena aku bisa tinggal dirumah yang ku impikan selama ini. Aku sangat berterima kasih sekali terhadap tuhan yang maha esa karena telah memberiku ayah tiri yang sangat baik.

Keesokan harinya, ayah menyekolahkan aku disebuah sekolah yang sangat bagus menurutku sesampainya disekolah ada seorang anak kecil yang sedang kelaparan aku sangat kasihan sekali melihatnya lalu tak lama kemudian ayah membeli makanan kecil untuk anak kecil itu, dan anak kecil itupun meninggalkan ayah serta aku.

Setibanya aku bersama ayah tibu dirumah ibuku kelihatan khawatir laluku bertanya..

“Ibu kenapa? Mengapa ibu terlihat khawatir begitu?” Tanyaku.
Lalu ibu menjawab..

“Adikmu nak tadi dia kejang-kejang ibu tidak tahu harus bagaimana”. Jawab ibu

“Ibu tidak usah khawatir ya ada aku serta ayah jadi ibu tenang saja” ucapku…

Tak lama kemudian aku beserta keluargaku pergi kerumah sakit untuk memeriksa keadaan adikku. Sesampainya dirumah sakit ayah membawa adikku keruang dokter, tidak lama kemudian ku lihat dari tempat dudukku muka ayah terlihat sangat sedih.

Lalu ibu bertanya kepada ayahku.. “ayah adik kenapa? Apa yang dideritanya?” Tanya ibu (ibu bertanya dengan muka penasaran)

lalu ayah menjawab “adik menderita penyakit syndrome bu ayah sangat sedih karena penyakit itu tidak ada obatnya dan sudah menyerang saraf otak adik.” Ucap ayah.

Tak kuasa aku menahan isak tangis setalah mendengar ucapan saya ayahku, lalu aku beserta kelurgaku pulang kerumah. Sesampainya dirumah ayah mendapat telfon dari tempat kerjanya kalo kantornya bangkrut dan dengan terpaksa ayah tidak bisa bekerja lagi. 

Lalu keesokan harinya ayah mencari perkerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.

Lalu, ayahku telah pulang dan ia berkata kepada aku beserta ibuku ia telah menjual darahnya. Kepala saya pusing dan tangan saya sangat lemas semua tempat pekerjaan telah menolakku. Lalu sebuah kotak jatuh dari meja rias yang ada didalam kamar ayah.

Ayah.. ayahhh!
Ucapku…

Keesokan harinya aku berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata becucuran, aku hanya bisa memukul-mukul onggokan tanah merah yang ada dihadapanku. 

Tetapi biar bagaimana aku pun berteriak, percuma denganku berteriak tak akan memanggil kembali bayangannya. Lalu aku beserta ibuku meninggalkan tempat tanah merah itu dan keesokan harinya aku beserta ibuku mulai berjualan makanan-makanan kecil lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan biaya pengobatan adikku.

Yang kita sebut ayah, belum tentu ayah kandung kita. Siapapun yang mengayomi, melindungi kita dengan ketulusan, ia layak disebut ayah.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar