Banting Tulang
Seorang Ayah Tiri
Ayah kandungku meninggal karena paru-paru stadium akhir saat aku
berusia 6 tahun.
Beliau juga meninggalkan ibu serta adik kecilku, sejak saat itu
kehidupan keluargaku sangat sulit. Setiap hari ibuku bekerja membanting tulang
bekerja menjual makanan-makanan kecil keliling sekitar kampungku.
Saat aku berusia 7 tahun, ibu menikah dengan seorang lelaki dan ibu
menyuruh kami memanggilnya dengan sebutan ayah. Lelaki itu ayah tiriku. Ayah
tiriku adalah seorang yang pendiam dia sangat rajin membantu ibuku bekerja
menjual makanan-makanan kecil. Ia juga perhatian dengan aku serta adikku.
Suatu hari ayah mendapat tawaran kerja dipekantoran menjadi manager,
aku tidak menyangka ayah tiriku bisa kerja dipekantoran. Saat itulah ayah tiriku
mulai membeli rumah mewah untuk tempat tinggal keluargaku. Aku sangat senang
sekali karena aku bisa tinggal dirumah yang ku impikan selama ini. Aku sangat
berterima kasih sekali terhadap tuhan yang maha esa karena telah memberiku ayah
tiri yang sangat baik.
Keesokan harinya, ayah menyekolahkan aku disebuah sekolah yang sangat
bagus menurutku sesampainya disekolah ada seorang anak kecil yang sedang
kelaparan aku sangat kasihan sekali melihatnya lalu tak lama kemudian ayah
membeli makanan kecil untuk anak kecil itu, dan anak kecil itupun meninggalkan
ayah serta aku.
Setibanya aku bersama ayah tibu dirumah ibuku kelihatan khawatir laluku
bertanya..
“Ibu kenapa? Mengapa ibu terlihat khawatir begitu?” Tanyaku.
Lalu ibu menjawab..
“Adikmu nak tadi dia kejang-kejang ibu tidak tahu harus bagaimana”.
Jawab ibu
“Ibu tidak usah khawatir ya ada aku serta ayah jadi ibu tenang saja”
ucapku…
Tak lama kemudian aku beserta keluargaku pergi kerumah sakit untuk
memeriksa keadaan adikku. Sesampainya dirumah sakit ayah membawa adikku keruang
dokter, tidak lama kemudian ku lihat dari tempat dudukku muka ayah terlihat
sangat sedih.
Lalu ibu bertanya kepada ayahku.. “ayah adik kenapa? Apa yang
dideritanya?” Tanya ibu (ibu bertanya dengan muka penasaran)
lalu ayah menjawab “adik menderita penyakit syndrome bu ayah sangat
sedih karena penyakit itu tidak ada obatnya dan sudah menyerang saraf otak
adik.” Ucap ayah.
Tak kuasa aku menahan isak tangis setalah mendengar ucapan saya ayahku,
lalu aku beserta kelurgaku pulang kerumah. Sesampainya dirumah ayah mendapat
telfon dari tempat kerjanya kalo kantornya bangkrut dan dengan terpaksa ayah
tidak bisa bekerja lagi.
Lalu keesokan harinya ayah mencari perkerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami.
Lalu, ayahku telah pulang dan ia berkata kepada aku beserta ibuku ia
telah menjual darahnya. Kepala saya pusing dan tangan saya sangat lemas semua
tempat pekerjaan telah menolakku. Lalu sebuah kotak jatuh dari meja rias yang
ada didalam kamar ayah.
Ayah.. ayahhh!
Ucapku…
Keesokan harinya aku berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata
becucuran, aku hanya bisa memukul-mukul onggokan tanah merah yang ada
dihadapanku.
Tetapi biar bagaimana aku pun berteriak, percuma denganku
berteriak tak akan memanggil kembali bayangannya. Lalu aku beserta ibuku
meninggalkan tempat tanah merah itu dan keesokan harinya aku beserta ibuku
mulai berjualan makanan-makanan kecil lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kami
dan biaya pengobatan adikku.
“Yang kita sebut ayah, belum tentu ayah kandung kita. Siapapun yang
mengayomi, melindungi kita dengan ketulusan, ia layak disebut ayah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar